Caritrend – Joko Pinurbo, penyair yang dengan lembut namun tajam menyulap keseharian menjadi puisi, telah meninggalkan kita. Di balik kesederhanaan gaya hidupnya, Joko Pinurbo, atau yang akrab disapa Jokpin, menawarkan pandangan yang unik dan kritis terhadap realitas sehari-hari. Karyanya yang memadukan narasi, humor, dan ironi, menjadi saksi bisu atas kejeniusan yang mengalir dari kehidupan yang tampak biasa.
Jokpin lahir di Sukabumi pada 11 Mei 1962 dan menghembuskan napas terakhir pada 27 April 2024 di Yogyakarta. Gaya hidupnya yang sederhana tidak menghalangi kemampuannya untuk menciptakan karya yang resonan dan berdampak. Dengan pendidikan di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sanata Dharma Yogyakarta, Jokpin tidak hanya menjadi penyair tetapi juga pendidik yang menginspirasi banyak generasi muda.
Karya-karyanya, seperti ‘Celana’ yang terbit pada 1999, ‘Di Bawah Kibaran Sarung’ pada 2001, dan ‘Telepon Genggam’ pada 2003, adalah beberapa contoh puisi yang menggambarkan kepiawaiannya dalam mengolah kata. Puisi-puisinya sering kali mengambil objek dan peristiwa sehari-hari, memberikan perspektif baru yang tidak terpikirkan sebelumnya. Ini adalah bukti bahwa kehidupan sehari-hari, tidak peduli seberapa sederhana, dapat menjadi sumber inspirasi yang tak terbatas.
Jokpin dikenal memiliki pandangan kritis terhadap berbagai aspek kehidupan. Dalam puisi ‘Celana’, misalnya, ia menggunakan celana sebagai metafora untuk berbagai isu sosial dan pribadi. Ini menunjukkan bagaimana sesuatu yang sepele dapat diangkat menjadi simbol yang kuat dan penuh makna.
Penghargaan yang diraihnya, seperti Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta pada 2001, Hadiah Sastra Lontar pada tahun yang sama, dan SEA Write Award pada 2014, adalah pengakuan atas kontribusinya yang besar dalam sastra Indonesia. Namun, lebih dari itu, Jokpin meninggalkan warisan yang lebih abadi: pandangan bahwa puisi tidak hanya terbatas pada kata-kata yang indah, tetapi juga refleksi dari kehidupan yang kita jalani setiap hari.
Kehilangan Joko Pinurbo adalah kehilangan bagi dunia sastra, namun karyanya akan terus hidup, menginspirasi, dan mengingatkan kita bahwa kehidupan sehari-hari, dengan segala kesederhanaannya, adalah puisi yang menunggu untuk ditulis.